Hakim Konstitusi RI Prof Arif Hidayat Hadiri Seminar Nasional UIN Alauddin Makassar
KERJASAMA Online – Hakim Konstitusi Republik Indonesia Prof Dr Arief Hidayat S H M S menghadiri Seminar Nasional bertajuk Nilai nilai Etik dalam Proses Peradilan di Mahkamah Konstitusi.
Seminar Nasional itu berlangsung secara blendid learning melalui aplikasi Zoom Meeting dan offline yang dipusatkan di Ruang Rapat Senat Lantai IV Gedung Rektorat, Jumat (29/10/2021).
Rektor UIN Alauddin Makassar dalam sambutannya menyampaikan ucapan selamat datang di UIN Alauddin Makassar. “Selamat datang di Makassar tekhusus UIN Alauddin Makassar yang bjasa disebut kampus peradaban,” kata Guru Besar Sosiologi itu.
Pada kesempatan itu pula, Prof Hamdan Juhannis menjelaskan nilai etika dan moral. Ia mengatakan nilai etikalah yang membangun hukum, etikalah yang harus berperan dalam proses pengambilan kebijakan.
“Nilai etika inilah yang membangun aturan atau membangun hukum dan saya kira itu akan sangat menarik bagaimana etika itu berperan dalam proses pengambilan kebijakan atau keputusan,” ujarnya.
Menurut Mantan Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Pengembangan Lembaga itu, etika itulah yang menjadi dasar untuk lahirnya keteraturan membuat manusia yang manusiawi.
“Karakter dari suatu bangsa kenapa etika untuk membangun keteraturan hidup dan terutama dalam penguatan peradilan di Mahkamah Konstitusi karena dengan etika itulah yang membuat manusia bisa menjadi manusiawi,” bebernya.
Ia menjelaskan etika versus estetika. Etika itu kata Prof Hamdan Juhannis nilai norma dan moral, sementara estetika itu keindahan.
“Kalau Anda mengandalkan estetika tanpa etika manusia itu adalah ciptaan yang sangat estetis tapi kalau dibuang etika nya itu jadi binatang,” pungkasnya.
Sementara itu, Prof Arif Hidayat mengungkapkan rasa senangnya bisa datang di UIN Alauddin. Menurutnya, awal masuk mendapatkan kesan keramahtamahan dari Pimpinan.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitus Republik Indonesia itu mengungkapkan ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari UIN Alauddin. Salah satu contoh yang dikemukakan Narasumber yaitu memahami prinsip prinsipel yang menjadi acuan di seluruh dunia.
“Salah satu contoh saya sangat terpukul memahami dari prinsip prinsipel yang menjadi acuan di seluruh dunia yang kemudian Indonesia tidak dipakai dan di Mahkamah Konstitusi dipakai itu diterjemahkan menjadi kode etik perilaku hakim,” bebernya.
Independensi hakim kata mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu diwujudkan dari kemandirian hakim untuk memutuskan.
“Kalau saya mengertikan selama ini hanya dipahami kemandirian untuk memutus yang hanya dipertanggungjawabkan secara lahiriyah, tapi sebenarnya ada independensi ini juga harus bertanggung jawab kepada Allah SWT,” jelasnya.
Hal ini kata dia, melahirkan setting opini. Perbedaan pendapat dikalangan hakim di satu peradilan termasuk di Mahkamah Konstitusi yang berbeda pendapat boleh menyampaikan secara tertulis dan disampaikan kepada publik padahal itu urusan internal.
“Padahal itu diagung-agungkan dimanapun badan peradilan di dunia itu, kemandirian hakim untuk bertanggung jawab secara personal terhadap apa yang diyakini dalam rangka memutus suatu perkara, tapi ternyata prinsip-prinsip itu diadopsi,” ungkapnya.
“Mestinya tidak hanya di adopsi saja di situ jelas harus disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan di Indonesia juga harus disesuaikan dengan TAP MPR No 6 tahun 2001 tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara,” tambahnya.